Pengaturan Hukum Waralaba di Indonesia: Hak dan Konsekuensi Hukum bagi Franchisee setelah Berakhirnya Perjanjian
Back To News

Pengaturan Hukum Waralaba di Indonesia: Hak dan Konsekuensi Hukum bagi Franchisee setelah Berakhirnya Perjanjian

04 Oct 2024

icon-write Laurentius Prabowo

Waralaba atau franchise merupakan bentuk kerja sama bisnis yang melibatkan pemberian hak penggunaan merek, sistem bisnis, dan pengetahuan teknis dari pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee). Hubungan ini diatur dalam sebuah perjanjian yang berlaku untuk jangka waktu tertentu. Setelah perjanjian tersebut berakhir, seringkali muncul pertanyaan mengenai status hukum dari hubungan bisnis ini, serta konsekuensi hukum yang mungkin timbul jika franchisee tetap menggunakan merek atau sistem bisnis franchisor.

Definisi Waralaba dalam Peraturan Perundang-undangan

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 Tahun 2019 “Untuk selanjutnya disebut dengan Permendag”, waralaba didefinisikan sebagai hak khusus yang diberikan oleh pemilik bisnis (franchisor) kepada pihak lain (franchisee) untuk menggunakan sistem bisnis yang telah terbukti sukses. Berdasarkan definisi ini, franchisee memiliki hak untuk menggunakan merek, produk, dan cara kerja bisnis dari franchisor selama perjanjian masih berlaku.

Hak penggunaan merek juga diatur dalam Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis “Untuk selanjutnya disebut dengan UU Merek”, yang menyatakan bahwa pemilik merek terdaftar dapat memberikan lisensi kepada pihak lain untuk menggunakan merek tersebut, baik sebagian maupun seluruh jenis barang dan/atau jasa. Lisensi ini diberikan melalui perjanjian yang diatur secara hukum dan harus mencakup klausul-klausul yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan dalam Perjanjian Franchise atau Waralaba

Pelaksanaan usaha waralaba harus didasarkan pada perjanjian tertulis antara franchisor dan franchisee, sesuai dengan Pasal 6 Permendag. Kedua belah pihak dalam perjanjian memiliki kedudukan hukum yang setara dan tunduk pada hukum Indonesia. Perjanjian waralaba wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia sesuai Pasal 6 Ayat (4) Permendag serta memuat klausul-klausul penting sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba, termasuk identitas dan alamat para pihak. Pemberi Waralaba bertanggung jawab memastikan kekayaan intelektual terkait masih dalam perlindungan, sementara Penerima Waralaba harus menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan sistem bisnis yang ditetapkan. Hak dan kewajiban kedua belah pihak diatur, termasuk pemberian bantuan, fasilitas, pelatihan, serta dukungan operasional dan pemasaran dari Pemberi Waralaba. Wilayah usaha Penerima Waralaba juga ditentukan, disertai jaminan kompensasi apabila Pemberi Waralaba menghentikan usahanya. Perjanjian ini mencakup pengaturan mengenai jangka waktu, tata cara pembayaran imbalan, kepemilikan waralaba, penyelesaian sengketa, serta mekanisme perpanjangan dan pengakhiran. Penerima Waralaba akan mengelola sejumlah gerai sesuai kesepakatan.

Secara umum, suatu perjanjian diatur berdasarkan Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyangkut syarat sahnya suatu perjanjian dan asas kebebasan berkontrak.

Konsekuensi Hukum Setelah Berakhirnya Perjanjian Franchise

Bagi pelaku bisnis yang hendak menjalankan usahanya secara waralaba, diwajibkan untuk memiliki Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW), yang menjadi dokumen penting dalam menjalankan usaha waralaba secara legal. Namun, apabila perjanjian waralaba berakhir, secara hukum, STPW yang dimiliki oleh franchisee juga dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan Pasal 12 Permendag, franchisee yang tidak memperpanjang perjanjian tidak lagi memiliki hak untuk menggunakan nama, logo, atau sistem bisnis yang dimiliki oleh franchisor.


Jika franchisee tetap menggunakan merek atau sistem bisnis franchisor setelah perjanjian berakhir, franchisor berhak menggugat franchisee tersebut berdasarkan Pasal 83 UU Merek. Hal ini disebabkan oleh pelanggaran hak atas merek yang dilakukan oleh franchisee setelah hak mereka untuk menggunakan merek tersebut berakhir. Selain itu, tindakan tersebut juga dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 100 Ayat (1) dan (2) UU Merek, yang mengatur bahwa penggunaan merek tanpa hak dapat dikenakan pidana penjara hingga lima tahun dan/atau denda hingga Rp2 miliar.

Kesimpulan

Pengaturan hukum waralaba di Indonesia secara jelas melindungi hak-hak franchisor dan franchisee dalam menjalankan usaha waralaba berdasarkan perjanjian tertulis yang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian tersebut, yang wajib memuat ketentuan-ketentuan penting terkait hak, kewajiban, serta kekayaan intelektual, menjadi landasan hukum bagi kelangsungan usaha waralaba. Selain itu, franchisee diwajibkan memiliki Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) untuk memastikan legalitas usaha mereka.

Namun, setelah perjanjian waralaba berakhir, hak franchisee untuk menggunakan merek, logo, dan sistem bisnis franchisor juga berakhir. Jika franchisee tetap menggunakan merek atau sistem bisnis franchisor tanpa izin, mereka dapat dikenakan sanksi hukum, termasuk gugatan atas pelanggaran merek dan pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Merek.

Penutup

Dengan demikian, penting bagi franchisee untuk memahami konsekuensi hukum setelah berakhirnya perjanjian waralaba dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Untuk melindungi hak-hak mereka, franchisor juga perlu memastikan bahwa perjanjian waralaba memuat klausul yang jelas terkait penggunaan merek dan sistem bisnis setelah masa berlaku perjanjian selesai. Hal ini akan mengurangi potensi sengketa dan menjaga kelancaran hubungan bisnis di masa mendatang. Mengingat eratnya hubungan antara Franchise dan Merek Dagang, ada baiknya pihak-pihak baik Franchisee dan Franchisor, mengkonsultasikan rencana usahanya kepada Konsultan HKI Terdaftar atau Registered IP Consultant di Indonesia.



 

share
tags
Copyright