04 Jul 2023
Sejarah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia bermula ketika Pemerintah Belanda mengundangkan Undang-Undang yang mengatur Kekayaan Intelektual (HKI) pada tahun 1844. Undang-Undang ini awalnya dibuat untuk melindungi Kekayaan Intelektual pelaku usaha orang Belanda di Indonesia, yang saat itu masih bernama Netherlands East-Indies, beberapa Undang-Undang yang diterbitkan oleh Pemerintah Belanda di bidang Kekayaan Intelektual di antaranya UU Merek (1885), UU Paten (1910), UU Hak Cipta (1912).
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Pemerintah Indonesia melalui Ketentuan Peralihan yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar menyatakan seluruh peraturan perundang-undangan yang ditinggalkan oleh Pemerintah Belanda masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, termasuk ketentuan di bidang KI. Di antara 3 (tiga) Undang-Undang di bidang KI peninggalan Pemerintah Belanda, UU Paten (1910) dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, dikarenakan proses pemeriksaan paten dilakukan di Belanda dan hal tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara. Akibat dari UU Paten dinyatakan tidak berlaku, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang menyangkut perangkat hukum nasional pertama yang menyangkut paten, yakni Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri untuk mengisi kekosongan hukum yang terjadi akibat UU Paten peninggalan Pemerintah Belanda dinyatakan tidak berlaku.
Indonesia sebagai negara yang sudah merdeka, pada saat awal kemerdekaan tidak menempatkan pelindungan hak-hak di bidang Kekayaan Intelektual sebagai prioritas, dan hal tersebut terbukti dengan terbitnya Undang-Undang di bidang KI pertama kalinya pada 11 Oktober 1961 dengan semangat untuk melindungi masyarakat luas dari produk-produk tiruan, Undang-Undang No.21 Tahun 1961 tentang Merek, yang berlaku pada 11 November 1961, di mana pada saat ini tanggal 11 November dikenal secara nasional sebagai Hari Kekayaan Intelektual Nasional. Perlu waktu 16 tahun setelah kemerdekaan Indonesia untuk menghasilkan Undang-Undang di bidang pelindungan HKI. Tak ayal hal tersebut tercerminkan ke dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia pada umumnya, di mana konsep KI adalah sesuatu yang asing dan bukan hak yang perlu dipertahankan seperti hak-hak kebendaan pada umumnya, yang mengakibatkan pembajakan karya-karya seni sebagai sesuatu yang wajar.
Pada akhir tahun 70an, Pemerintah Indonesia mulai menyadari pentingnya pelindungan HKI sebagai sarana untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebagai bentuk komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk lebih aktif dalam melindungi hak-hak di bidang KI, Indonesia meratifikasi Konvensi Paris (Stockholm Revision 1967). Pada 12 April 1982, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Tahun 1986 dapat dikatakan sebagai awal dari era modern sistem HKI di tanah air. Pada 23 Juli 1986, Presiden RI melalui Keputusan Presiden No. 34/1986 membentuk tim khusus di bidang HKI yang berperan untuk memformulasikan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI, dan sosialisasi sistem HKI pada instansi pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat luas. Kelompok khusus di bidang KI ini juga dikenal luas sebagai Tim Keppres 34.
Terbentuknya Tim Keppres 34 juga menyelesaikan perdebatan panjang tentang urgensi eksistensi sistem paten di tanah air, mengingat sistem paten tidak hanya sekedar memenuhi tekanan dunia internasional, namun juga kebutuhan nasional menciptakan kerangka pelindungan hak di bidang KI secara utuh dan komprehensif, serta menyokong kemajuan industri dan teknologi di dalam negeri.
Pada awal tahun 90an, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, menggantikan Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek. Indonesia menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS) pada 15 April 1994 sebagai upaya untuk menyelaraskan pelindungan KI dengan kebutuhan kerja sama dengan negara-negara lainnya.
Tiga tahun pasca penandatanganan Perjanjian Multilateral Uruguay Round, Indonesia melakukan perubahan terhadap UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992.
Di akhir tahun 2000, sebagai bentuk penyelarasan kerangka hukum di bidang Kekayaan Intelektual Nasional dengan Persetujuan TRIPS, Pemerintah Indonesia mengundangkan tiga UU baru di bidang KI, yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Sebagai upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang telah dibuat sebelumnya dengan standar yang ditetapkan oleh Persetujuan TRIPS, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Walaupun sudah melalui proses perombakan, Indonesia terus menghadapi tantangan dalam menegakkan hukum di bidang pelindungan KI secara efektif. Indonesia dikenal dengan tingkat pembajakan yang tinggi, khususnya pembajakan karya seni dan perangkat lunak komputer, dan hal tersebut nyata berdasarkan data yang dikumpulkan oleh MUSO, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang intelijen pasar terkhususnya langka-langka anti-piracy dan pelindungan konten, Indonesia sebagai negara masuk peringkat 10 besar sebagai negara yang mengakses situs web yang memberikan akses terhadap konten hasil pembajakan.
Meskipun pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk memerangi pembajakan, termasuk pembentukan gugus tugas anti-pembajakan, penegakan hukum tetap memiliki tantangannya tersendiri mengingat Indonesia adalah negara yang luas dan sistem hukum yang masih mengenal konsep otonomi daerah.
Adanya perubahan dari tahun ke tahun untuk Undang-Undang pelindungan HKI menunjukkan komitmen Pemerintah Indonesia terhadap pelindungan HKI semakin besar dan nyata. Kini, hukum terkait HKI di Indonesia selain melindungi aset HKI secara fisik, juga melindungi aset-aset HKI dalam bentuk digital.